Tanpa mengecilkan arti benar tidaknya
ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun mengakui pada tahun 1205 M itu
adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya Alaidin
Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang di Banda Aceh sekarang
yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera daripada sebuah kota sebagai
bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga muncul di abad-abad
lampau.
Sebagian kita mungkin telah terbawa
arus berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah
kota berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian
membuat kita menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga
memiliki sebuah kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi. Sekali lagi
tanpa mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini,
kita cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin
Kerajaan Aceh Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh
sampai ke tingkat internasional pada abad-abad lalu tersebut.
Dari berbagai catatan, diperoleh data
tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini, tentang
lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan dengan
Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai ke
kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing,
tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib
singgah untuk membeli ataupun membarter berbagai jenis rempah-rempah. Baiklah
kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan
dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd.Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan tersebut
berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus, Singkli
(Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao (Lhokpaoh),
Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas (Rigah),
Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong Balee).
Mereka, pelaut-pelaut asing itu tidak mencantumkan adanya Sibolga,
Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh. Lagi-lagi tanpa
mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan Kerajaan
Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah memang
telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988, ditetapkanlah
tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H, atau
22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar (kota pelabuhan)
ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para peneliti sejarah
jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam bissawab.
Cuma 6 Sekolah Dasar
Setelah penyerahan kedaulatan 1949,
Banda Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD)
yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari
salah satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh
masyarakat dari Leupeung, lokasi SR tersebut masing-masing: SR seleretan SMU 1,
sekarang SD 7 dan 9. SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain
Supermarket Yusri.SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42. SR di dekat
Gudang Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15. SR
di Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar. SR Neusuh, sekarang bangunan baru
sebagai SD 32.
Tahun 1950 muncul satu-satunya Sekolah
Rendah Islam (SRI) Al Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman.
Tahun-tahun berikutnya muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1
sekarang). Dan Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang
pada ruang belakang Gereja Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru
untuk SGA berlantai 2 sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.
Peunayong dan Gudang Pereman
Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang
malam,dan ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas
anda dicurigai bahwa anda baru pulang plesiran dengan pelacur. Ternyata sarang si
Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu dan sampai sekarang pun masih begitu. Beberapa
pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat penyakit perempuan (maksudnya
Sipilis/ Raja singa) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit
Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena
sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan
slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan.
Dan si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian
ada yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti
penyakit perempuan tersebut.
Dan apa pula yang disebut "Gudang
Preman" itu? Maksudnya kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini,
dulu disebut Jln Krueng Raya atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang
Jln. T. Nyak Arief sekarang, hanya sampai batas kota di Simpang Jambo Tapee.
Simpang Jambo tapee itu sendiri dikatakan sebagai daerah pinggiran kota. Di sini
ada lapangan ternak lembu perah milik keluarga India pakai sorban. (maksudnya
etnis orang India Sikh/Benggali.) Kalau lewat Jambo Tapee ke arah Lamnyong
atau Krueng Raya, di kiri kanan jalan tanpa aspal itu hanya ada sawah,
rawa-rawa serta belukar. Jurusan jalan Gudang Preman yang disebut tadi, dulunya
cukup suram di malam hari dan bahkan sering dijadikan tempat menunggu seseorang
yang tak disukai untuk dibunuh.
Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang
dalam keadaan remang remang di malam hari. Peneranganjalan hanya dengan lampu
minyak yang dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di
tempat-tempat tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan
ambtenaar Belanda memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang
semprongnya macam jantung pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa
sepeda itu disebut juga lampu jantung.
Ternyata yang disebut Gudang Preman itu
karena di salah satu sisi jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas
gudang yang lokasinya kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada
hubungan Gudang Preman dengan ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang
dimaksud jangan disamakan sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang
pukul, perampok maupun pencopet.
Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan Belanda
frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria-pria yang tidak
memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum
penganggur pun dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul
dan tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman.
Kebanykan perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal
Jawa dan orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi
mereka sekedar tunjangan.
Ke Kandang Babi
Tempo doeloe, kalau mau ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan
mengatakan ke Kandang Babi. Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie
sampai ke Taman Sari Baru atau Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri
dari hutan pisang dan di dalam kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh,
perkampungan orang Cina, khusus memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena
semenjak Simpang Jam sampai lewat Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi
kota, sisa-sisa peternak babi tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke
dalam dari Jembatan Goheng (sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi
ini pindah ke Ujong Batee arah Krueng Raya, 15 Km dari kota. Begitu juga di
jalan arah ke Seutu ini, ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang
berseberangan dengan Kampung Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang
ini di atas tanah kompleks Kampung Keling tersebut dibangun beberapa bangunan
sebagai Taman Budaya Aceh. Yang disebut Kampung Keling itu terdiri dari sebaris
kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu yang ditunjuk Belanda untuk hunian
orang-orang India yang berprofesi sebagai laundry. Namun lokasi untuk etnis
India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di sini mereka memiliki rumah
peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh Temple untuk India
Sikh/Banggali.
Tempat hiburan
Beberapa orang lama mengatakan di
Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar. Maksudnya
gedung bioskop, masing-masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum masuknya
listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak
bayanganfilm ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu
hasilbayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang
hitam putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film
dengan tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar
dengan tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk
sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja
kedatangan listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung
bisokop yang dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan
Rex, hanya tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja
makanan di malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang.
Setelah kemerdekaan di samping Bioskop
Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong muncul satu
bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop Merpati. Rumah-rumah
hiburan kebanyakan didatangi oleh para petinggi Belanda yaitu disebut Kamar
Bola yang dikemudian hari dikenal dengan BalaiTeuku Umar. Sayang bangunan yang
berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas telah dibongkar dan
di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun Sibreh.
Tempat rekreasi di luar kota ketika itu
sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai Ulheelheue dimana khusus
untuk orang-orang Belanda disediakan tempat mandi laut yang dipagari besi agar
jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan kamar pakaian. Tempat
rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja dilanda gempa besar
sekitar tahun 1930-an.
Dikutip dari berbagai sumber.
0 Response to "Aceh dimasa lampau bagian 2"
Post a Comment