Gedung-gedung Tua
Kalau pun ada sekarang bangunan tua
yang telah antik, adalah bangunan-bangunan yang berusia antara 70 sampai 100
tahun, rata-rata dibangun dalam masa kerajaan Aceh telah tiada setelah tahun
1874 M. Kecuali bangunan Masjid Teungku Anjong yang telah beberapa kali
direnovasi yang berusia sekitar 300 tahun.
Bangunan-bangunan yang sedikit yang
berada di Banda Aceh tersebut adalah Masjid Tgk. Anjong: Bangunan yang telah
berusia lebih kurang 300 tahun ini terletak di Peulanggahan. Menurut buku
"Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia" oleh Abdul Baqir Zein, masjid
ini dibangun oleh seorang ulama di zaman Sultanan Alaidin Mahmud Syah di abad
18. Ulama karismatik tersebut bernama Syeh Abubakar berasal dari Hadratulmaut
(Arab). Kebiasaan dalam masyarakat Aceh, seseorang yang menjadi tokoh, maka
masyarakat memberian nama sebagai panggilan akrab, maka Syeh Abubakar diberi
nama panggilan akrab Teungku Anjong. Untuk ukuran sekarang bangunan tersebut
betul-betul antik dan tercantum dalam sederetan koleksi masjid-masjid tua di
Indonesia.
Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda tahun 1879 dan siap pakai
1881. Ketika itu petingginya adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal
K. Van der Heijden yang merasa harus mengganti Masjid Raya yang terbakar habis
ketika penyerbuan Kumpeni Belanda tahun 1874. Ketika penyerbuan itu Masjid Raya
terbuat dari bahan kayu, beratap ijuk.
Masjid Raya Baiturrahman
Beberapa catatan mengatakan banyak jatuh
korban dikedua belah pihak untuk merebut Masjid Raya yang dijadikan basis
lasykar Aceh. Pasukan Belanda berhasil menghancurkan masjid setelah menembakan
meriam berpeluru api. Beberapa jam setelah masjid yang telah jadi arang itu
diduki, komandan tertinggi Belanda, Jenderal Kohler yang sedang berada di
halaman masjid, tewas ditembak oleh sniper Aceh yang konon membidik sang
jenderal dari belukar-belukar, kira-kira di sekitar bekas gedung PMABS
sekarang.
Untuk mengembalikan kepercayaan orang Aceh, maka lima tahun kemudian
dibangun penggantinya, sebuah masjid konstruksi beton dengan kubah tunggal.
Bangunan asli tersebut sekarang ini berada di tengah-tengah, yang ada jam kuno.
Masjid Raya Baiturrahman setelah beberapa kali perluasannya setelah kemerdekaan
Indonesia, telah memiliki 7 kubah dan 4 menara azan seperti sekarang ini.
Sementara di halamannya yang dulu adalah jalanraya, berdiri sebuah menara
setinggi 45 meter, yang disebut sebagai Menara Perjuangan dan adalah bangunan
tertinggi di Banda Aceh.
Pendopo Gubernuran
Setelah Aceh diduki oleh pasukan kompeni
Belanda tahun 1874, dan membenah negeri yang kemudian disebut masyarakat Aceh sebagai
Kutaraja.
Tahun 1881 sebuah bangunan
yang ketika itu disebut istana, siap dibangun di atas bekas bangunan istana
Sultan Aceh yang disebut Dalam. Di atas pertapakan bangunan Dalam itu dibangun
sebuah rumah dinas resmi bergengsi yang setelah kemerdekaan Indonesia tahun
1945 disebut Pendopo Gubernuran dan sekarang ini disebut Meuligoe (Mahligai),
tempat resmi siapapun yang menjabat Gubernur Aceh.
Bangunan ini bahan bakunya berasal seutuhnya dari
kayu yang dipesan khusus dari Kalimantan (kayu besi). Petinggi Belanda pertama
yang menghuni tahun 1881 adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K.
Van der Heijden yang oleh orang Aceh disebut "Jenderal Bermata
Sebelah" karena ketika memimpin pertempuran di Samalanga, sebelah matanya
cedera ditembus peluru lasykar Aceh.
Dari berbagai sumber dikatakan semenjak
siap huni tahun 1881 ada 22 petinggi Belanda yang menempati bangunan tersebut.
Dan dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945), hanya satu petinggi Dai Nippon
sempat menempati "istana" tersebut yaitu Jenderal Mayor Syozaburo
Iino.
Sentral Telepon
Bangunan bulat seperti mercusuar
berlantai dua ini dibangun semasa masih berkecamuknya perang Aceh. Bangunan
separoh beton yang cukup tebal dibagian bawah sebagai perisai kalau ada
penyerbuan lasykar Aceh dan diatasnya bahan dari kayu yang tahan cuaca, terletak
di persimpangan Jln. T. Umar dengan jalan ke arah Neusu dan Meuligoe, tidak
jauh dari Simpang Jam. Tepatnya dekat bekas galon minyak Saleh Rahmani.
Inilah gedung pelayanan telepon
satu-satunya yang beroperasi semenjak tahun 1903 milik Kumpeni Militer Belanda
khusus untuk untuk keperluan perang Aceh. Sedangkan kantor pelayanan telepon
untuk umum, dibangun tahun 1931 di lokasi Kantor Telepon sekarang dengan gedung
dan peralatan moderen. Sayangnya gedung yang aslinya bukan diawetkan tapi
dirubuhkan tanpa meninggalkan bekas sebagai bukti sejarah perteleponan di
negeri ini.
Bangunan bulat sentral telepon Kumpeni di dekat Simpang Jam, pada masa
pendudukan Jepang 1942-1945, difungsikan juga untuk keperluan perang. Sampai
menjelang tahun 1960 setelah Indonesia merdeka, bangunan kuno ini masih dipakai
sebagai Kantor Telepon Militer Kodam I/Iskandarmuda yang disebut Wiserbot (WB)
Taruna. Sampai sekarang berturut-turut telah dipakai sebagai
Kantor KONI, Kantor Surat Kabar Atjeh Post dan terakhir sebagai Kantor PSSI.
Banyak yang mengharapkan agar bangunan ini jangan sampai dibongkar pula.
Gereja Katholik
Gereja Katholik Hati Kudus ini
diresmikan pemakaiannya tanggal 26 September 1926 oleh Pastor pertama, Pastor
Kepala Augustinus Huijbregets. Bangunan terletak di ujung jembatan Pantee Pirak
arah Simpang Lima dengan gaya Neo Clasik Modern. Bangunan panjang 30 M, tinggi
ruangan dalam 12 M, lebar 14 M, sementara tinggi menara 22 M. Dapat menampung
300 anggota jemaat. Interior gereja ini dengan jendela yang diberi kaca
berwarna jenis staned glass dengan lantai keramik warna warni yang disusun
dalam bentuk mozaik, sehingga dinilai sebagai gereja yang berlantai indah di
Indonesia.
Dari catatan yang ada, baik kaca, lantai
keramik maupun lonceng gereja, semuanya di datangkan dari Negeri Belanda. Dalam
kompleks gereja ini diperlengkapi bangunan-bangunan untuk pendidikan agama dan
sekarang ini memiliki sekolah semenjak TK sampai SMU.
Jauh sebelum tahun 1926, di tempat yang
sama telah ada bangunan darurat untuk gereja yang dipimpin oleh seorang Pastor
yang didatangkan dari Negeri Belanda. Dalam catatan sejarah keberadaan Kumpeni
Belanda di Aceh, Pastor yang bernama Verbrak ini telah mengabdi selama 30 tahun
dalam suasana perang Aceh dan ikut sebagai Imam Tentara ke berbagai lokasi
medan tempur.
Metro Market
Gedung tua lainnya dan barangkali tidak banyak yang mengetahui
riwayatnya yang telah mencapai 100 tahun ini, adalah yang sekarang dijadikan
sebagai market mini Metro terletak di ujung Jalan Diponegoro. Yang
mencemaskan adalah nasib gedung ini karena terbesit kabar bahwa kalangan
Balai Kota akan merestui untuk dibongkar dan menggantikan dengan bangunan
moderen untuk sebuah super market. Gedung ini bentuknya memang sudah kuno dan
ada yang merasa sudah menjadi limbah di tengah bangunan-bangunan moderen tanpa
mau tahu akan usianya yang telah 100 tahun dan telah banyak jasanya dalam
perkembangan negri ini.
Semasa perang kemedekaan 1945-1949
gedung milik percetakan Belanda ini dialihkan menjadi Percetakan Negara RI
sampai tahun 1960-an, sebelum dibangun gedung baru Percetakan Negara RI di
sampingnya. Percetakan tersebut dengan peralatan yang kuno jika dibandingkan
dengan sekarangi ini telah mencatat sebuah sejarah ketika Pemerintahan Darurat
RI antara 1945-1949. Disinilah dicetak uang negara yang bernama ORI (Oeang
Repoeblik Indonesia).
Gedung tua yang sekarang sebagai
supermaket mini tersebut, pertama dibangun tahun 1900 berbentuk rumah
biasa sebagai cabang percetakan swasta Belanda "Deli Courant" yang
berpusat di Medan. Kemudian dikembangkan dengan membangunnya lebih besar lagi
seperti yang ada sekarang. Percetakan yang tentunya mempergunakan peralatan
kuno diberi nama "Atjeh Drukrij" yang oleh lidah orang Aceh disebut
seenaknya sebagai Aceh Dokree. Percetakan ini menerbitakan sebuah surat kabar
bernama "Atjeh Newsblad". Karena menyusun leternya satu-satu dengan
tangan (handzet) maka koran Belanda ini terbit 1 kali dalam 2 minggu. Ketika
pendudukan Jepang (1942-1945) percetakan ini menerbitkan surat kabar bernama
"Atjeh Shinbun".
Setelah Jepang angkat kaki,
pemuda-pemuda Indonesia ketika itu anatara lain A. Hasjmy, Amelz, Matu Mona,
Twk. Hasyim SH, Talsya dll menerbitkan surat kabar "Semangat
Merdeka". Di masa pemerintahan darurat itulah dicetak digedung tua ini
uang negara sebagai tanda pembayaran yang syah, sebagai membuktikan bahwa
negara Indonesia itu memang resmi ada.
Akan tetapi ada beberapa bangunan di
Banda Aceh yang berusia di bawah 70 tahun, milik masyarakat, tapi memilik nilai
sejarah ketika perang kemerdekaan 1945-1949. Sayang bangunan-bangunan tersebut
karena milik pribadi, bukti- bukti sejarah tersebut hanya tinggal dalam
catatan-catatan lama. Sedangkan bangunannya telah dibongkar. Misalnya
"Hotel Central" terletak di Jln. Mohd. Jam. Di sana sekarang telah
berdiri sederetan bangunan Ruko. Di aula hotel kecil milik seorang
Tionghoa ini sering para tokoh-tokoh pejuang Aceh mengadakan rapat-rapat untuk
mengatur pemerintahan darurat di Aceh. Begitu juga gedung "Sabang
Coy", bersebelahan dengan bekas gedung PMABS di ujung Jln. Diponegoro.
Tempat ini pernah dijadikan markas para pemuda pejuang perang kemerdekaan untuk
mengatur strategi untuk mara ke Foront Medan Area. Sekarang ini telah berdiri
di sana sederetan bangunan ruko.
Kemudian ada sebuah bangunan
lain yang kini ternyata tersendat dalam pengembangan dan pemugarannya yaitu
"Atjeh Hotel". Walau bangunan ini adalah milik swasta, tapi punya
nilai sejarah dalam membangun Republik Indonesia. Hotel bergaya Belanda dengan
aula dan bar yang luas seperti kebanyak gaya tempo doeloe pernah dijadikan ruangan
terhormat menyambut kedatang Presiden Soekarno tahun 1947. Dari ruangan ini
lahir ide kaum saudagar Aceh untuk menghadiahkan sebuah pesawat terbang untuk
membantu perjuangan Indonesia mempertahankan Proklamasi 1945. Konon pesawat
jenis Dakota buatan Daouglas AS itu adalah cikal
bakal armada angkutan udara Indonesia "Garuda" sekarang
ini.
Transportasi
Pada masa Belanda dahulu untuk angkutan
murah dalam kota dipergunakan kenderaan sado (delman) yang dalam bahasa Aceh
disebut kaha. Semenjak masa perang Aceh dahulu kereta kuda ini telah ada. Konon
Teuku Umar keluar masuk kota untuk mengunjungi isterinya yang lain dan beberapa
kenalannya orang Cina di Peunayong mempergunakan kaha. Karena serdadu Belanda
diajarkan tatakrama untuk tidak menyinggung hati orang Aceh terutama jangan
menggangu kaum wanita, maka Teuku Umar yang jadi buron Belanda itu sering
menyamar memakai busana wanita dan menumpnag kaha/sado ke dan keluar kota.
Disetiap pos penjagaan dia bisa lolos, karena para serdadu begitu melihat ada
penumpang wanita, mereka cukup hormat dan tidak banyak periksa. Halte sado
sampai Indonesia merdeka antara lain di mulut Jalan Perdagangan di sisi Masjid
Raya, di Jln. Merduati, di Stasiun Kereta Api (sekarang sudah jadi halaman
Masjid Raya) dan di dekat Rumah Sakit Kuta Alam.
Sado Banda Aceh masih difungsikan sampai
akhir tahun 1960. Armada sado ternyata mengundurkan diri dari gelanggang ketika
muncul kenderaan murah lainnya yaitu beca. Kemunculan beca di Banda Aceh memang
langsung beca bermotor seperti sekarang ini. Tidak pernah ada beca dayung.
Akibat tidak ada lagi kenderaan sado
yang ditarik oleh kuda ini, warga Banda Aceh tak pernah lagi melihat jenis
hewan kuda yang dulu cukup banyak. Kasihan juga yang anak-anak Banda Aceh
terutama yang usia muda agak terheran-heran melihat kalau ada sekali-sekali
muncul hewan kuda yang datang dari Takengon.
Begitu juga anak-anak-anak Banda Aceh
tidak tahu bagaimana sebenarnya kenderaan kereta api itu. Karena si "Kuda
Besi" angkutan jarak jauh ini entah setahu bagaimana lenyap dari
peredaran. Padahal menurut beberapa pengakuan, pemasukan dari sektor angkutan
kereta api di Aceh yang instansinya disebut "Djawatan Kereta Api
Atjeh" (DKA) cukup menggiurkan sampai-sampai dapat menutup kerugian
beberapa usaha perkeretaapian negara di berbagai daerah di Sumatera.
Begitu juga semenjak tahun 1950 sampai
awal 1980 untuk hubungan jarak dekat seperti kenderaan labi-labi sekarang ini,
ada juga pelayanan transportasi dengan mobil berbadan lebar yang karoserinya
empat persegi seperti kotak sabun dan memiliki tempat duduk dari papan
dideretkan melintang semenjak dari bangku sopir sampai ke pintu
belakang. Armada ini terdiri dari Perusahaan Motor Lhoknga (PML),
Perusahaan Motor Aceh Besar (PMAB), Perusahaan Motor Olele (PMO), Perusahaan
Motor Darmajaya dan Ampera.
Stasiun jenis angkutan ini yang disebut
pelabuhan berada di tanah kosong di depan Percetakan Negara atau depan leretan
Warung Aman Kuba. Sekarang bekas stasiun tersebut telah dijadikan semacam taman
kota. Dalam tahun-tahun 1950-an, muncul pula armada bus antara lain ATRA,
Nasional, PMTOH dan PMABS. Dua yang terakhir ini melayani pantai Barat sampai
ke Bakongan.
Bus-bus jarak jauh menginap di
depan bangunannya sendiri. Para penumpang langsung dijemput antar oleh bus ke
tujuannya. Baru tahun 1970 muncul sebuah terminal wajib kumpul bus jarak jauh
dan wajib turun penumpang di Seutui, lokasi termina sekarang. Pada masa Belanda
jalan darat ke pantai Barat jurusan Meulaboh-Tapaktuan, Bakongan sampai Trumon
dibuat tahun 1928. Lewat laut sampai tahun 1956 dengan kapal milik perusahan
Belanda yang bernama Konijnklike Pakertpart Matschapij (KPM). Untuk kenderaan
pribadi, sekitar tahun-tahun 1920-an, warga lebih banyak jalan kaki atau naik
sado. Hanya orang-orang tertentu yang mampu beli kereta angin (maksudnya
sepeda-Pen) Setelah kemerdekaan semenjak 1950 sampai 1960 di jalan-jalan di
Kutaraja berseliweran sepeda dan satu-satu mobil pribadi, semirip suasana lalu
lintas di kota-kota negara Cina dan Vietnam yang didominasi oleh yang didominasi
oleh sepeda.
Pada masa-masa tersebut
terlihatlah status keberadaan seseorang dinilai dari merek sepedanya. Yang
paling banyak bermerek Valuas dan Seko. Sementara merek Raleigh, Fongers,
Gazzele dan Philips dimiliki oleh para toke-toke, dan warga berduit.
Lebih-lebih lagi pemilik jenis sepeda bermerek kelas atas tersebut akan
bergengsi lagi kalau sepedanya dilengkapi dengan rem tromol yang mengeluarkan
bunyi gesekan kalau berhenti. Ditambah lagi sepeda dilengkapi dengan gigi.
Maksudnya ada perseneling yang kalau didayung akan mengeluarkan bunyi
tik...tik...tik. Bahkan anak-anak pejabat tertentu, terutama yang ceweknya
dibelikan kenderaan yang disebut mobilette.Ternyata tak lebih semacam
sepeda yang diberi bermesin tempel yang dikenal juga dengan sebutan sepeda
kumbang.
0 Response to "Aceh dimasa lampau bagian 1"
Post a Comment