Taman sari adalah salah satu taman tertua di Banda Aceh yang dibuat pada zaman kesultanan Iskandar Muda. Taman tersebut dibuat untuk Sultan bersantai dari segala kepenatan. Menurut narasumber, Bpk Nurdin, kepala Museum Aceh, taman sari dahulunya lebih rendah dari jalan sekitar 80 cm. namun sekarang taman tersebut sudah ditimbun hingga sejajar dengan jalan. Taman ini dikelilingi langsung oleh jalan, lalu diapit oleh barisan rumah-rumah colonial bekas menir-menir belanda tinggal. Namun sebagian besar rumah telah dialihfungsikan atau direnovasi baik fasad maupun bentuk, sehingga tidak ada lagi gambaran bentuk awal rumah tersebut. Namun ada beberapa rumah yang masih mempertahankan bentuk dan fasad aslinya, sehingga masih ada bayangan tetang bentuk dan fasad dari bangunan-bangunan rumah pada masa colonial Belanda. Berdasarkan narasumber yang masih menduduki salah satu dari rumah tersebut (TK YKB), yaitu Ibu Nurhasinah, ada beberapa tipe rumah yang ada di sekitar taman sari tersebut, tergantung tingkatan dari menir-menir belanda.

Taman sari ini adalah taman yang sering digunakan oleh para menir-menir untuk berlibur atau mengatasi kepenatan dari masalah-masalah, sehingga mereka menjadi segar kembali. Oleh sebab itu, samapai sekarang Taman Sari tetap dibuka untuk umum dengan harapan bisa menjadi tempat hiburan bagi seluruh masyarakat Aceh tanpa ada batasan untuk kalangan tertentu. Taman ini bisa dinikmati oleh masyarakat menengah kebawah tanpa mengeluarkan biaya.
Dalam lingkup Taman Sari sendiri terdapat beberapa objek bangunan yang masih ada maupun sudah tidak ada lagi, yaitu Tugu Proklamasi yang masih ada, gedung music dan tower air yang sudah tidak ada lagi. Setelah itu, ada banyak bangunan bersejarah lainnya yang berada di sekeliling Taman Sari yang akan dibahas di bawah ini.

TANGIBLE
1. BLACK JACK CAFÉ (Colonial)
Black jack merupakan salah satu café yang berada disebrang jalan depan museum tsunami. Sebelumnya bangunan black jack ini merupakan sebuah rumah tinggal (kolonial) yang dibangun pada zaman belanda, dan direnovasi/penambahan bagian belakang bangunan utama pada tahun 2010 (alih fungsi).
Bangunan ini terdiri dari 1 lantai dan bangunan utamanya rumah panggung dengan struktur kayu dan papan, sedangkan bagian belakang/tambahan menggunakan konstruksi beto bertulang. Menurut narasumber, setelah zaman colonial, rumah ini dihuni oleh orang cina sebelum dihuni oleh keluarga Bpk Ramli Ismail.
Saat ini, bangunan ini difungsikan sebagai Café tempat masyarakat sekitar Taman Sari berkumpul. Black Jack ini masih menggunakan fasad dan bentuk asli bangunan rumah zaman colonial sebagai gambaran tipe-tipe rumah di sekitar taman sari pada zaman itu. Jendela-jendelanya yang besar, atap yang cukup curam, dengan dinding dan struktur kayu yang membentuk rumah panggung masih terlihat jelas. Sebagian ruang di bawah rumah panggung ditutup, namun diberi ventilasi dri jeruji besi. Mungkin ini dibuat agar sirkulasi udara di bawah rumah tetap lancar, sehingga bagian dalam rumah tidak terlalu panas.
2. TOWER COFFE (Post Colonial)
Bangunan awalnya terbuat dari kayu, lalu direnovasi menjadi dinding bata plester yang masih menggunakan gaya-gaya colonial, banyak ventilasi dengan berbagai bentuk. Plat lantainya terbuat dari beton yang dicetak di tempat dengan bantuan tepas, sehingga langit-langit bangunan terlihat sepeti anyaman.
TK ini milik Yayasan Keusuma Bangsa yang dulunya adalah rumah milik Tgk H. Hasan. Ini adalah salah satu rumah yang mirip dengan rumah saat pertama dibuat. Namun karena gempa dan tsunami, rumah ini dibangun kembali. Kondisinya cukup baik walau terlihat kurang perawatan. Rumah ini dijadikan TK pada tahun 80an, lalu pada tahun 96, TK ini juga difungskan menjadi TPA.
Pada awalnya rumah ini adalah tempat petinggi-petinggi belanda tinggal. Bangunan ini memiliki selasar panjang ke belakang yang menghubungkan dengan deretan kamar-kamar yang berada di halaman belakang. Kamar-kamar tersebutlah yang dijadikan ruang untuk belajar anak-anak TK. Namun ruang-ruang di belakang sudah tersapu saat tsunami. Sehingga saat ini TK YKB hanya tinggal satu bangunan tunggal.
Setelah
tsunami, bangunan tunggal yang dahulunya menjadi tempat tinggal dijadikan
kelas-kelas untuk TK dikarenakan TK harus tetap belajar. Hingga saat ini, TK
dan TPA masih berlangsung dengan bangunan yang masih utuh, hanya ada penambahan
pada teras depan yang ditutup, dan dinding bangunan yang dicat warna biru,
bukan menggunakan warna aslinya.
Berdasarkan Bpk Nurdin sebagai narasumber mengatakan bahwa salah satu alasan tower ini dibuat adalah untuk menyambut pembukaan MTQ Nasional pertama di Banda Aceh oleh Soeharto. Pada saat itu, dibuat tulisan Arab Allah di bagian atas, sehingga pada saat tombol yang terhubung dengan tulisan tersebut ditekan oleh Bpk Soeharto, akan muncul tulisan tersebut bersinar dari atas Tower.
Untuk membangun tower tersebut, dikeluarkan biaya yang sangat besar sekitar 3,5 M Begitu juga pada saat tower ini diruntuhkan memakan biaya yang besar, bahkan untuk memindahkan puing-puingnya juga memakan dana sampai miliyaran rupiah.
Berdasarkan cerita, Hotel Aceh adalah hotel yang sangat erat hubungannya dengan Aceh. Banyak turis yang datang ke Aceh ketika ditanyai tentang dimana mereka akan menginap ketika di Banda Aceh, mereka akan menjawab menginap di Aceh Hotel, sedangkan pada saat itu, Hotel Aceh sudah tidak ada karena terbakar di tahun 90an. Penyebabnya tidak diketahui namun berdasarkan narasumber, hotel tersebut terbakar sekitar jam 11 atau 12 siang.
Saat ini telah berdiri gedung baru balai kota sebagai ganti dari gedung balai kota yang lama. Sangat berbeda dari bentuk awalnya, bangunan balai kota yang baru di desain modern dan menghilangkan bentuk peninggalan bangunan yang lama. Balai kota yang lama berkonstruksi beton dan diperkirakan dibangun pada tahun 1982
10. GEDUNG MUSIK (Colonial).
Gedung ini telah lama hilang karena ditelan tsunami. Sebelum hilang, bangunan ini telah beralih fungsi menjadi café yang bernama Rindang Café. Gedung music ini dibangun untuk tempat pengiring acara-acara yang diadakan di taman sari. Bangunan ini terdiri dari dua lantai dengan konstruksi semi permanen gaya colonial. Berdasarkan narasumber, dahulunya bangunan ini berbentuk semi lingkaran.
Lalu bangunan tersebut dialihfungsikan menjadi tempat makan yang cukup terkenal. Rindang Café menjadi salah satu tempat makan favorit masyarakat Banda Aceh untuk berkumpul bersama pada saat itu.
Sejak tahun 50an, tempat ini adalah tempat praktek Bidan Rebecca Girsang, yaitu tempat praktek Bidan terkenal di Banda Aceh pada saat itu. Ibu Rebeca Girsang sendiri adalah istri pendeta di Gereja Santa Kudus yang berada di Banda Aceh. Namun karena banyak anggota TNI yang sering singgah di tempat tersebut, banyak pasien yang tidak berkunjung lagi sehingga pamornya turun. Lalu karena Bidan Rebeca sudah mulai tua, maka tempat tersebut dijadikan Losmen Raya sekitar tahun 2000an, lalu losmen tersebut dijual pada tahun 2004 dan Ibu Rebeca beserta keluarga pindah ke Medan.
Setelah tsunami, tahun 2007 losmen tersebut dibeli oleh Pak Zainal, pemilik Hotel Raya hingga sekarang. Setelah dibeli, hotel ini sebenarnya mau difungsikan kembali menjadi klinik, namun karena tanah di sebelah hotel tersebut (sekarang tempat penjual bunga) tidak bisa dibeli, sehingga luasan daerah tersebut sangat kecil dan tidak cukup untuk dibangun klinik, maka klinik tersebut tidak jadi dibangun dan hotel Raya tersebut dipertahankan hingga sekarang.
Pohon ini ditanam di seluruh jalan utama yang dilalui untuk sirkulasi mereka, sehingga pohon ini bisa dijadikan tanda wilayah kekuasaan Zaman Belanda pada masa itu. Menurut Beliau (Bpk. Nurdin), bila ada pendatang yang tidak mengetahui arah jalan atau kesasar, bila ada pohon asam jawa di daerah tersebut, maka jangan takut dan ikutilah jalan sepanjang Pohon Asan Jawa, maka jalan tersebut akan tenmbus ke jalan lainnya dan tidak akan tembus ke jalan buntu atau hutan, ataupun gnung.
Asal kata Bak Mee itupun berasal dari cerita masyarakat yang mengisahkan ketika seorang masyarakat bertanya pada seseorang yangsedang menanamkan pohon Asam Jawa tersebut, “Pu bak nyan?”, lalu orang yang sedang menanam tersebut menjawab “Hom, bak mee” yang dimaksud yaitu pohon yang dibawa olehorang ke daerah tersebut.
0 Response to "Warisan Kolonial Belanda di Taman Sari"
Post a Comment