Post kali ini adalah sedikit ulasan tentang sejarah Salahuddin Al-Ayyubi, seorang panglima perang islam serta pemprakarsa perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Let's check it out !
.
.
.
Salahuddin lahir di Tikrit, di tepi Sungai Tigris Iraq pada tahun 1137. Keluarganya berasal dari suku Kurdi. Ia dibesarkan di sebuah keluarga birokrat terpandang di kekhalifahan Islam di Iraq. Sultan Zengi di Syria menunjuk ayahnya yang piawai di pemerintahan dan diplomasi sebagai gubernur kota Baalbek.
Bernama asli Salah al Din Abu Muzaffir Yusuf ibnu Ayyub ibnu Shadi, Salahuddin menghabiskan masa kecilnya di Baalbek dan Damascus. Saat ia berusia enam tahun, bangsa Muslim sedang dalam masa peperangan dengan bangsa Nashrani. Meski situasi tak menentu, ia tetap ditempa ayahnya untuk menguasai sastra, ilmu kalam, menghafal Al Quran dan ilmu hadits di madrasah.
Di abad pertengahan, harapan untuk hidup termasuk kecil dan kaum muda diberikan tanggung jawab besar sejak usia dini. Pada usia 14 tahun, Salahuddin telah menikah dan ditarik pamannya, Shirkuh yang menjabat sebagai komandan militer senior di kota Aleppo ke dalam divisi militernya.
Dunia kemiliteran semakin diakrabinya setelah Sultan Nuruddin menempatkan ayahnya sebagai kepala divisi milisi di Damascus. Pada umur 26 tahun, Salahuddin menjadi asisten pamannya dalam memimpin pasukan muslimin yang berhasil memukul mundur pasukan salib dari perbatasan Mesir dan Aleppo.
Berada di lingkar pusat militer membuat Salahuddi menyaksikan bagaimana kebijakan strategis politik terhadap pasukan salib diputuskan pihak kekhalifahan. Bakat kepemimpinan dan militernya diendus oleh Sultan Nuruddin. Pada tahun 1169 ia diangkat sebagai wazir atau panglima gubernur menggantikan pamannya.
Meski memiliki ayah dan paman yang telah makan asam garam, mentor utama Salahuddin justru Sultan Nuruddin. Sultan Nuruddin adalah penguasa Muslim pertama yang melihat jihad terhadap pasukan salib dapat berhasil jika bangsa Muslim bersatu.
Tiga tahun kemudian, ia menjadi penguasa Mesir dan Syria menggantikan Sultan Nuruddin yang wafat. Suksesi yang ia lakukan sangat terhormat, yaitu dengan menikahi janda mendiang Sultan demi menghormati keluarga dinasti sebelumnya. Ia memulai dengan revitalisasi ekonomi, reorganisasi militer, dan menaklukan Negara-negara muslim kecil untuk dipersatukan melawan pasukan salib.
Impian bersatunya bangsa muslim tercapai setelah pada September 1174, Salahuddin berhasil menundukkan Dinasti Fatimiyah di Mesir untuk patuh pada kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad. Dinasti Ayyubiyah akhirnya berdiri di Mesir menggantikan dinasti sebelumnya yang bermazhab syiah.
Pada usia 45 tahun, Salahuddin telah menjadi orang paling berpengaruh di dunia Islam. Selama kurun waktu 12 tahun, ia berhasil mempersatukan Mesopotamia, Mesir, Libya, Tunisia, wilayah barat jazirah Arab dan Yaman di bawah kekhalifahan Ayyubiyah. Kota Damascus di Syria menjadi pusat pemerintahannya.
Kota Yerussalem tetap menjadi target utama Salahuddin. Namun ia berusaha berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai kota suci yang dikuasai bangsa Nashrani ini. Ia belajar dari kekalahannya di pertempuran Montgisard oleh pasukan gabungan Raja Baldwin IV Yerussalem, Raynald of Chatillon dan Ksatria Templar di tahun 1177. Hanya sepersepuluh saja dari pasukannya yang berhasil pulang ke Mesir.
Perjanjian damai sempat disepakati antara Salahuddin dan Raja Baldwin IV. Namun sebuah insiden memaksa Salahuddin untuk menggelar kembali misi perebutan Yerussalem. Ini di picu oleh aksi penyerangan Raynald of Chatillon terhadap rombongan pedagang dan peziarah haji yang melintasi wilayah Palestina secara membabi buta. Seorang adik perempuan Salahuddin menjadi korban penyerangan ini.

Gambar : Lukisan Salahuddin Al-Ayyubi
Dibalik jubah perangnya melegenda sebuah jiwa ksatria yang dihormati oleh para raja-raja. Ia pembebas kota suci Yerussalem dari bangsa Nashrani sekaligus pelindung setiap nyawa musuh-musuh yang telah ditundukkannya. Ia adalah Salahuddin Al Ayyubi, sultan penakluk terbesar yang dimiliki dunia Islam.
Seisi kota Yerussalem pada tahun 1187 menyambut sang penakluk yang baru saja memasuki gerbang utama kota ini. Setelah pengepungan kota beberapa minggu lamanya, kaum muslimin akhirnya sukses merebut kembali kota suci ini. Salahuddin Al Ayyubi, Sultan dari Kekhalifahan Muawiyah di Mesir bersama pasukannya menerobos kerumunan penduduk Yerussalem yang mengelu-elukannya.
Sebagian penduduk kota bergembira atas datangnya pembebas kota suci Islam dari genggaman bangsa Nashrani ini, lainnya justru berharap cemas atas kelanjutan nasibnya. Setiap orang memikirkan seperti apa kemurahan hati sang penguasa baru ini terhadap penduduk kota yang ditaklukkannya.
Tak ada yang lupa sosok penakluk kota Yerussalem yang terdahulu terhadap para penduduk kota tepatnya 88 tahun yang lalu. Saat itu Yerussalem yang masih dikuasai bangsa Muslim jatuh ke tangan pasukan salib yang menyerbu dari daratan Eropa. Setiap penduduk kota, baik Muslim, Yahudi bahkan Nashrani sekalipun dibantai habis tanpa ampun. Jalan-jalan digenangi darah sampai keganasan itu lelah atau terhenti dengan sendirinya.
Meski bangsa Nashrani pernah membuat Yerussalem bermandikan darah, Salahuddin tidak membalas dendam atas masa lalu. Seperti saat Rasulullah SAW memasuki kota Mekkah bersama 10.000 pasukannya, Salahuddin datang tanpa setetes pertumpahan darah. Ia mengucapkan sebuah kalimat yang akan menjadi begitu terkenal kepada seluruh penduduk Yerussalem “Pergilah kemanapun kalian hendak pergi, kalian telah bebas”.
Tindakan mulia Salahuddin mencengangkan setiap orang saat itu.Sebagian penduduk penganut agama selain Islam dan pejabat penguasa yang menyerah diperlakukan dengan santun dan baik. Pasukan musuh yang menyerah mendapat perlindungan dari penganiayaan dan diperlakukan dengan hormat.
Sikap ksatria Salahuddin menjadi sebuah legenda heroik di masa abad pertengahan. Ia dicintai tak hanya oleh kaum muslimin tetapi juga dihormati oleh raja-raja dari bangsa Nashrani. Bahkan musuh terbesarnya saat perang salib King Richard Lionheart dari Inggris terpesona dengannya setelah merasakan kehangatan sikap ksatria Salahuddin di medan perang.
Apresiasi terhadap sikap ksatria Salahuddin menghiasi kisah-kisah heroisme masa lalu. Oleh penyair dan sastrawan masa lalu, ia diinterpretasikan sebagai suri tauladan bagi kesopanan dan keksatriaan. Bagi sebagian umat Nashrani, sosok Salahuddin sampai-sampai diartikan sebagai figur dengan darah Eropa di nadinya, dan seorang ksatria nashrani di hati. Namun bagi umat Islam ia lebih dari sekadar ksatria atas panji panji Islam. Ia adalah seorang pria beriman dan visioner, seorang pembangkit semangat serta menjadi panutan atas keilmuan dan keberanian.
Asal Mula Adanya Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad saw.
Semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Dia lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
wallahu 'alam bisshawab.
0 Response to "Salahuddin Al-Ayyubi, maestro ksatria islam"
Post a Comment