Kampung Cina dalam sejarah Aceh
Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Cina. Dalam catatan sejarah Dinasti Liang (506-556 M), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatera bagian utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-li dan beragama Buddha. Pada abad ke-13 teks-teks Cina (Zhao Rugua dalam bukunya Zhufanzhi) menyebutkan Lanwuli (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282 M, diketahui bahwa raja Samudera Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsudin) utusan ke negeri Cina. Dalam sumber yang lain (Ying Yai Sheng Lan), Ma Huan dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, mencatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Sumendala (Samudera), dan Lanwuli (Lamuri). Dalam catatan Dong Xi Yang Kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, mencatat secara terperinci mengenai Aceh yang telah modern (Golden Horde dalam http://www.acehinstitute.org).
Selain kota-kota tersebut di atas, Kota Pasai dan Perlak juga pernah
disinggahi oleh Marco Polo (abad ke-13) dan Ibnu Batuta (abad ke-14) dalam
perjalanannya ke Cina. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai
adalah lada yang banyak diekspor ke Cina. Sebaliknya barang-barang dari Cina
seperti sutera, keramik, dan lain-lain diimpor ke Pasai. Pada abad ke-15,
armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan lonceng
besar yang tertanggal 1409 M (Cakra Donya) kepada raja Pasai.
Di Kota Samudera Pasai selain pribumi banyak tinggal komunitas Cina. Mengenai
keberadaan komunitas Cina di sana juga didapatkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
yang menyebutkan adanya “Kampung Cina”. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh
Darussalam berdiri (abad ke-16), komunitas Cina telah berada di Aceh sejak abad
ke-13 (Golden Horde dalam http://www.acehinstitute.org).
Darussalam, dan sejak itu Samudra Pasai pudar pamornya. Puncak kejayaan
Kerajaan Aceh Darussalam adalah pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Di masa itu Aceh merupakan kawasan yang kuat dan sebagai salah satu pusat
perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap,
diantaranya dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam,
Eropa dan lain-lain. Ibu kota kerajaan ketika itu berada di Kota Banda Aceh
sekarang. Kota ini tumbuh menjadi sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter
multietnis. Samudera Pasai merupakan daerah penghasil lada, selain Pasai
kawasan Aceh bagian utara juga banyak menghasilkan lada untuk diekspor ke Cina.
Setelah berakhirnya masa Sultan Iskandar Muda, yaitu di masa Sultan Iskandar
Thani, Kerajaan Aceh Darussalam tidak lagi melakukan politik ekspansi.
Perhatian diutamakan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran Agama
Islam. Pada masa Sultan Iskandar Thani di ibukota kerajaan dibangun Taman
Ghairah, sebuah taman tempat bercengkerama keluarga sultan. Dalam buku Bustan
us-Salatin karangan Nurudin ar-Raniry (orang Gujarat, penasehat sultan)
diceritakan bahwa di dalam taman itu telah dibangun “Balai Cina”
(paviliun) yang dibuat oleh para pekerja Cina (Golden Horde dalamhttp://www.acehinstitute.org). Barulah dalam paruh kedua abad ke-17 orang-orang Cina di Banda Aceh
banyak berperan dalam perdagangan. Mereka semua menempati rumah yang berdekatan
satu sama lainnya, di salah satu ujung kota, di dekat laut, dan daerah mereka
itu dinamakan Kampung Cina (Lombard, 1991:153).
Para pedagang termasuk pedagang dari Cina selain ada yang tinggal dan
berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman yang
datang dengan kapal layar pada bulan-bulan tertentu. Kapal-kapal (jung) Cina
membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina di ujung kota dekat
pelabuhan. Rumah mereka berdekatan satu sama lainnya dan mereka menurunkan
barangnya di pelabuhan itu dari kapal untuk selanjutnya didistribusikan. Lokasi
tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong.
Peunayong adalah bagian dari wilayah kota tua Banda Aceh yang didesain
Belanda sebagai Chinezen Kamp alias Pecinan. Peunayong dihuni
warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu,
Kong Hu,
Hokkian, dan subetnis lainnya (sumber: http://id.inti.or.id). Kegiatan perdagangan di kawasan itu cukup menonjol karena berdagang merupakan mata pencaharian utama etnis Cina yang pada umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis. Selain aktivitas perdagangan juga terdapat aktivitas keagamaan, ini nampak dari keberadaan sebuah wihara di antara deretan rumah dan toko modern yang berada di Jl. T Panglima Polem, Peunayong. Sepanjang pagi hari, kawasan Peunayong tak ubahnya seperti kawasan Glodok di Jakarta, atau Petaling Jaya di Kuala Lumpur, Malaysia. Pedagang Cina dan warga asli Aceh berbaur dengan pengunjung pasar yang didominasi warga Cina. Suasana kedai kopi pun tampak dipenuhi generasi tua masyarakat Cina yang mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi, menghisap rokok, sambil bercakap dalam dialek Khe diselingi ucapan bahasa Mandarin.
Kong Hu,
Hokkian, dan subetnis lainnya (sumber: http://id.inti.or.id). Kegiatan perdagangan di kawasan itu cukup menonjol karena berdagang merupakan mata pencaharian utama etnis Cina yang pada umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis. Selain aktivitas perdagangan juga terdapat aktivitas keagamaan, ini nampak dari keberadaan sebuah wihara di antara deretan rumah dan toko modern yang berada di Jl. T Panglima Polem, Peunayong. Sepanjang pagi hari, kawasan Peunayong tak ubahnya seperti kawasan Glodok di Jakarta, atau Petaling Jaya di Kuala Lumpur, Malaysia. Pedagang Cina dan warga asli Aceh berbaur dengan pengunjung pasar yang didominasi warga Cina. Suasana kedai kopi pun tampak dipenuhi generasi tua masyarakat Cina yang mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi, menghisap rokok, sambil bercakap dalam dialek Khe diselingi ucapan bahasa Mandarin.
Aktivitas bongkar muat barang,
deretan mobil diparkir berjejalan dengan truk, becak kayuh, dan kesibukan
transaksi jual-beli masih terlihat di pertokoan sepanjang Peunayong. Pasar
tradisional, toko kain, rumah obat, kedai kopi, barang kelontong, dan pelbagai
komoditas lainnya mendominasi wilayah sepanjang Jalan Ahmad Yani dan Jalan T
Panglima Polem tersebut. Peunayong adalah pemandangan unik “China Town” Banda
Aceh. Deretan bangunan tua seperti kawasan Kota-Glodok, Jakarta yang merupakan
paduan arsitektur Belanda-Cina dari abad ke-19 itu merupakan penanda sejarah
masa lampau yang masih tersisa. Pada tahun 1960 pasar tersebut pernah
direhabilitasi bagian fisik bangunan maupun lingkungannya. Seiring perjalanan
sejarah tentunya bangunan-bangunan lama di Peunayong telah mengalami perubahan,
bagaimanakah pola dan arsitektur bangunan di Peunayong kini, berikut uraiannya.
Tinjauan pola dan arsitektur bangunan
Setelah berhasil merebut Kuta Raja pada tahun 1874, Pemerintah Kolonial
Belanda mengambil langkah-langkah untuk memfungsikan kota Banda Aceh yang telah
hancur akibat peperangan (Ismuha,1998:33). Langkah pertama adalah pembangunan
struktur fisik atau tata ruang kota dan pembangunan pelabuhan Ulelheu sebagai
pintu gerbang kota. Untuk kepentingan pemerintahannya mereka juga membangun
fasilitas-fasilitas militer seperti benteng, rumah sakit, bank, gereja dan
pertahanan militer lainnya yang ditempatkan secara strategis. Pembangunan
sarana transportasi dan komunikasi yang menunjang kegiatan administrasi
kolonial dan perdagangan juga mendapat perhatian. Demikian halnya dengan
pusat-pusat aktivitas umum terpenting seperti pasar dan mesjid. Di Kota Banda
Aceh ketika itu terdapat dua pasar utama, yaitu satu terletak di pusat kota
dekat mesjid raya dan satu lainnya terletak di ujung utara kota (Peunayong).
Khusus pasar di Peunayong, di sepanjang jalan tampak kekhasan bentuk fisik
bangunan yang berupa deretan rumah toko atau ruko. Ruko merupakan bangunan
hunian dua lantai. Lantai bawah digunakan untuk berdagang, sedangkan lantai
atas digunakan sebagai tempat tinggal. Bentuk arsitektur ruko lazim ditemukan
pada kawasan pecinan di Asia Tenggara, terutama Singapura dan Malaysia (Kohl,
1984 dalam Mahmud, 2006:235). Menurut Kohl, awal mula ruko dapat ditemukan pada
kota dan perkampungan di Cina Selatan. Pada kawasan pecinan di Indonesia, ruko
berarsitektur Cina dapat dikenali dari ciri: bangunan berlantai dua atau lebih
dengan atap yang melengkung dan bertipe pelana (gable roof).Lantai
biasanya terbuat dari tegel dengan berbagai ukuran dan dinding tersusun dari
bata warna merah yang diplester dengan adukan semen, kapur dan pasir. Tampak
depan ruko berisi dekorasi dari pecahan keramik, antara lain bermotif awan
menggulung dan naga. Beberapa diantaranya sudah menggunakan pintu yang
berbentuk lengkung semu-circulairyang bagian atasnya terbuat dari
bata yang disusun secara vertikal mengikuti bentuk lengkungan. Bentuk
lengkungan tersebut diakhiri bentuk pelipit. Pintu dan jendela biasanya terbuat
dari susunan bilah papan yang dihubungkan dengan dua engsel (folding
shutter). Unit bangunan lain yang menjadi ciri khas kawasan pecinan
adalah wihara. Ruko biasanya dirancang dalam satu blok bangunan, sedangkan
wihara ditempatkan tersendiri, di ujung maupun di bagian tengah ruko secara
terpisah.
Pasar Peunayong merupakan
salah satu pasar utama kebutuhan primer warga Banda Aceh. Secara administratif
pasar ini masuk dalam Kelurahan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda
Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari Mesjid Baiturrahman berjarak
sekitar 2 km ke arah utara. Secara geografis keletakannya cukup strategis
karena berada tidak jauh dari tepi Krueng (sungai ) Aceh di sebelah barat dan
sekitar 4 kilometer ke arah utaranya berbatasan dengan laut (Selat Malaka).
Dulu kawasan ini disebut Bandar Peunayong dan leluhur warga etnis Cina sudah
berada di Peunayong sekitar abad 17 M (sumber: http://jkt.detiknews.com). Deretan ruko lama dan sebuah wihara adalah saksi bisu dari perjalanan
sejarah pasar ini yang sebagian masih kokoh berdiri setelah peristiwa gempa
bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 melanda kawasan itu. Kawasan
Peunayong merupakan wilayah yang cukup parah terkena dampak dari peristiwa alam
besar tersebut.
Adapun deskripsi kompleks ruko dan wihara di Peunayong sebagai berikut:
a. Kompleks Ruko I
Lokasinya berada di Jl. A Yani (barat), sebagian bangunan berada di Jl. WR.
Supratman (utara), Jl. Teluk Betung (selatan) dan di Jl. RA Kartini (timur).
Sekitar 75 m arah barat ruko berbatasan dengan Krueng (sungai) Aceh yang
mengalir dari selatan ke utara yang bermuara ke laut (Selat Malaka). Jarak laut
tersebut dari Peunayong sekitar 4 km. Kompleks Ruko I dibangun pada lahan yang
relatif datar dengan konstruksi bangunan memanjang utara-selatan sejajar dengan
Sungai Aceh. Kompleks Ruko I terdiri dari 9 buah ruko dengan beragam barang
yang diperdagangkan. Bangunan terdiri dari dua lantai, lantai satu digunakan
sebagai tempat berdagang sedangkan bangunan lantai dua untuk tempat tinggal.
Lantai bangunan lantai satu dari tegel dengan permukaannya lebih rendah
daripada jalan raya di depannya. Adapun lantai pada bangunan lantai dua dari papan
yang disangga oleh sejumlah balok kayu di bagian bawahnya.
Tampak depan ruko ditandai dengan arcade yaitu deretan
tiang beton yang menopang lantai atas menjorok ke emperan. Lebar emperan sempit
(sekitar 2 m) karena sebagian digunakan untuk menaruh barang-barang dagangan.
Sedangkan tinggi tiang emperan sekitar 3 m. Bagian atas tiang dihias dengan
susunan pelipit rata. Tiang yang berada di ujung (utara) bagian atasnya
melengkung bergaya Romawi (lihat foto). Deretan tiang emperan menerus ke
bangunan lantai dua sebagai pilaster. Di bagian sudut atas pilaster konstruksi
diperkuat lagi dengan penyiku dari beton. Pilaster berfungsi sebagai penguat
dinding tembok bangunan, disamping itu juga menandai batas ruas ruangan
bangunan lantai dua. Pintu ruko terbuat dari papan yang disusun vertikal dengan
sistem buka tutup secara digeser. Di bagian atas pintu ruko terdapat lubang
ventilasi berbentuk persegipanjang dengan hiasan kerawang dikeempat sudutnya.
Untuk keperluan pencahayaan
dan sirkulasi udara dinding bangunan lantai dua dilengkapi jendela. Jendela
berdaun dua terbuat dari bilah-bilah papan yang disusun vertikal. Gerak buka
tutup jendela dihubungkan dengan dua engsel (folding shutter).
Jumlah jendela setiap ruko bervariasi 2 atau 3 buah jendela. Di bagian dinding
ruko yang terletak paling ujung (utara) dijumpai lagi 3 buah jendela dan sebuah
pintu. Di bagian atas jendela dan pintu terdapat kanopi dari seng. Di bagian
atas kanopi dijumpai hiasan berbentuk susunan pelipit rata. Hiasan lainnya
berbentuk huruf S dari besi dijumpai dibagian kiri dan kanan jendela.
Ujung atap menonjol, ciri khas arsitektur Cina pada Kompleks Ruko I di Jl. A Yani, Peunayong
Atap ruko berbentuk pelana dari seng dengan kemiringan tajam. Kemiringan
atap dibuat tajam agar air hujan cepat turun ke permukaan jalan raya di
bawahnya. Kemiringan atap diakhiri dengan tritisan berhiaskan deretan awan
beriring. Di bagian puncak atap terdapat tonjolan atap dari semen. Konstruksi
tonjolan atap itu menyatu dengan dinding bangunan lantai dua.
b. Kompleks Ruko II
Lokasinya berada di Jl. RA. Kartini, sekitar 10 m bagian timur dari
Kompleks Ruko I. Sedangkan batas bagian utara dengan Jl. WR Supratman. Berdiri
pada lahan yang relatif datar dengan konstruksi bangunan memanjang
utara-selatan. Sama seperti Kompleks Ruko I, bangunan terdiri dari dua lantai,
lantai bangunan lantai satu dari tegel sedangkan lantai bangunan lantai dua
dari papan. Permukaan lantai pada bangunan lantai satu lebih rendah dari pada
permukaan jalan di depannya. Adapun lantai papan ditopang oleh sejumlah
tiang-tiang kayu. Tampak depan Kompleks Ruko II ditandai dengan arcade yaitu
deretan tiang beton yang menopang lantai atas menjorok ke emperan. Lebar
emperan sekitar 2 m dengan tinggi tiang sekitar 3 m. Tiang menerus ke bangunan
lantai dua sebagai pilaster. Komponen penguat siku tiang dijumpai di bagian
atas tiang bangunan lantai satu dan pilaster bangunan lantai dua. Penguat tiang
tersebut berbentuk lengkung dari beton. Dinding dari tembok semen, dinding
bagian atas ruko dilengkapi sepasang jendela berdaun dua dari kayu. Jendela
terbentuk dari rangkaian bingkai kaca persegi empat. Jendela tersebut tampaknya
sangat berperan untuk memperoleh pencahayaan maupun sirkulasi udara karena
ketiadaan lubang angin yang biasanya berada di bagian atas jendela.
Deretan Kompleks Ruko II memanjang utara-selatan.
Atap bangunan berbentuk pelana dari seng dengan kemiringan tajam yang
diakhiri tritisan di bagian ujungnya. Ukuran lebar dan tinggi atap tampaknya
dirancang dalam proporsi yang sama (lihat foto). Demikian halnya dengan jumlah
dan ukuran jendela bangunan lantai dua.
c. Vihara Dharma Bhakti
Vihara Dharma Bhakti terletak
di Jl. T. Panglima Polem, Peunayong, di antara deretan ruko modern di sepanjang
jalan tersebut. Bangunannya kini merupakan bangunan baru yang didirikan di atas
lahan bangunan lama yang telah runtuh. Keberadaannya yang bersamaan dengan
tumbuhnya ruko (abad ke-19) merupakan bukti dari gambaran aktivitas yang lain
dari masyarakat etnis Cina di Peunayong selain berdagang. Wihara bernama Vihara
Dharma Bhakti ini mudah dikenali karena di bagian atap depan terpampang nama
tersebut. Di bagian kiri dan kanan nama wihara terdapat masing-masing sebuah
patung naga laut (lihat foto). Dalam kepercayaan Cina naga laut merupakan simbol
penjaga, penolak bala, dan kekuasaan (Mahmud,2006:241). Di antara kedua patung
naga terdapat lampu (lampion) berhiaskan kuncup bunga teratai. Hingga kini
wihara ramai didatangi umat Buddha terutama dalam hari-hari besar agama Buddha.
Para penganut yang datang bukan hanya yang berdomisili di Banda Aceh, bahkan
dari luar Banda Aceh.
Patung naga laut di bagian depan Vihara Dharma Bhakti
Pembahasan
Periode Pemerintahan Kolonial Belanda merupakan awal penerapan perencanaan
kota modern yang ditandai oleh pengelompokan berdasarkan kultur sosial, ekonomi
dan politik bagi kepentingan Belanda. Kota mulai berubah sebagai titik simpul
jaringan transportasi dan komunikasi yang sangat efektif untuk kepentingan
militer dan ekonomi. Di sini ciri yang menonjol adalah segregasi wilayah kota
menurut ras Eropa, Asia (Arab, Cina, India) dan pribumi. Kawasan Peunayong
merupakan salah satu contohnya. Ditempatkan di bagian ujung kota (utara) yang
merupakan pelabuhan(entreport) untuk tempat kegiatan ekspor-impor
komoditi. Sedangkan pusat pemerintahan kolonial berada di pusat kota (lihat
peta tata guna lahan di Kota Banda Aceh). Komunitas asing lainnya berada
diantaranya. Segregasi ini dibuat sedemikian rupa oleh Pemerintah Kolonial
Belanda sehingga tidak terlalu mencolok dalam katagori dualistik: pribumi dan
non pribumi (penjajah) dengan memasukkan etnis Cina, Arab, dan India ke dalam
sistem tata ruang permukiman kota (Ismuha,1998:37).
Tata guna lahan di Kota Banda Aceh tahun 1944 (Ismuha, 1998:34)
Pemisahan wilayah warga Eropa, Timur Asing dan Pribumi seperti halnya
Peunayong yang ditempatkan di bagian utara kota merupakan kebijakan Pemerintah
Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan adanya pemisahan
sistem adiministrasi pemerintahan antara warga Eropa dengan Timur Asing (Cina,
India), hal ini juga berlaku dalam menentukan lokasi wilayah permukiman dimana
penetapannya ditentukan berdasarkan kelompok etnis. Meskipun pada akhir abad
ke-19, pembaharuan administrasi Pemerintah Kolonial Belanda telah melepaskan
konsepsi pengelompokkan etnis ini, dasar pembagian ras dalam soal kependudukan
dan susunan wilayah permukiman tetap dipertahankan (Soekiman,2000:194). Pada
batas-batas tertentu ada titik-titik temu yang memungkinkan pemisahan tersebut
membentuk ciri baru yang disebut pasar.
Penempatan Pasar Peunayong secara permanen yang tidak terlalu jauh (2 km di
utara Mesjid Raya Baiturrahaman) dari mesjid mungkin lebih cenderung untuk
kemudahan pengawasan kegiatan pusat kota. Karena bagaimanapun mesjid raya di
Banda Aceh adalah elemen penting pembentuk struktur kota. Mengamati
perkembangan Kota Banda Aceh dengan memperhatikan letak dan kondisi
geografisnya tidak dapat dipisahkan dengan Krueng Aceh. Sungai ini membelah
Kota Banda Aceh seperti halnya Sungai Ciliwung di Jakarta. Dapat dikatakan
sungai merupakan sarana penghubung yang sangat vital saat itu. Begitu dekatnya
kota itu dengan kawasan pesisir menjadikan sungai sebagai sarana penghubung
yang efektif yang menghubungkannya dengan kawasan pedalaman. Diketahui pula
bahwa Banda Aceh yang kedudukannya sebagai kota pesisir berfungsi juga sebagai
kota dagang tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah dan
kebudayaan. Setiap kelompok etnis membentuk perkampungan mereka sendiri
sebagaimana kampung Cina di kawasan Peunayong. Bukti-bukti arkeologis berupa
kompleks ruko-ruko lama yang kini masih berdiri di sana menandai perjalanan
dari suatu komunitas budaya yang khas. Hal ini salah satunya tampil dalam
bentuk arsitektur bangunan ruko. Arsitektur ruko di Peunayong merupakan
perpaduan dari dua kebudayaan yang berbeda yang berasal dari pengaruh Cina dan
Belanda (Eropa). Ciri khas langgam arsitektur Cina tampak pada bagian atap yang
dipadu dengan tiang dan lengkungan bergaya Eropa. Langgam gaya arsitektur Eropa
juga dijumpai pada hiasan di atas jendela berupa susunan pelipit rata dan
kanopi.
Konstruksi ruko-ruko di Peunayong dibangun secara memanjang utara-selatan
mengikuti Krueng Aceh. Disamping itu juga mempertimbangkan segi fungsi dan
simbol. Berdasarkan keletakannya, ada beberapa aspek tata bangunan yang dapat
dilihat, yaitu (Sugeng Riyanto & M Irfan Mahmud,2006:280–281):1). Aspek
tata letak; aspek tata letak (setting)permukiman berkaitan dengan
penempatan setiap bangunan dalam suatu area permukiman. Tata letak dapat diatur
menurut kebutuhan dasar (basic needs), misalnya kepercayaan maupun
faktor yang lebih strategis seperti keamanan, 2). Aspek bentuk (morfologi);
aspek bentuk meliputi ujud, ukuran, denah, tata ruang, material dan konstruksi,
3). Aspek lansekap; lansekap merupakan gambaran bagaimana masyarakat memaknai
lingkungannya. Aspek lansekap terkait dengan lingkungan fisik, dan 4). Aspek
simbolik; aspek simbol antara lain meliputi warna, dan dekoratif.
Setting permukiman di Peunayong berpola memanjang mengikuti Krueng Aceh. Pola
yang memanjang itu memudahkan dalam penciptaan banyak ruang dengan komposisi
ukuran sama besar. Pola bangunan yang memanjang juga sebagai salah satu upaya
untuk penyelarasan dengan mengikuti pola sungai. Konstruksi memanjang yang
terdiri dari beberapa ruko dalam satu kesatuan bangunan sangatlah efisien
karena dengan demikian tidak perlu menempati lahan secara luas. Bentuk ruko
yang dibangun tinggi di Peunayong merupakan salah satu bentuk adaptasi dengan
lingkungan agar bangunan mendapatkan penghawaan dan pencahayaan yang cukup.
Untuk keperluan tersebut Ruko dilengkapi lewat lubang angin dan jendela,
mengingat kawasan Peunayong berada tidak terlalu jauh dari sungai dan laut yang
beriklim tropis. Sirkulasi udara dan pencahayaan juga dapat masuk melalui
bagian emperan sehingga pengaruhnya terasa langsung pada ruangan bangunan
lantai satu. Bangunan yang tinggi tentunya harus kokoh maka untuk itu digunakan
material bahan bangunan dari semen karena dari segi usia pun lebih tahan
daripada kayu. Kompleks Ruko dan wihara di Peunayong, secara arsitektural juga
membawa pesan nilai estetis, Ini nampak pada bentuk tiang dengan penyiku yang
melengkung, ventilasi, hiasan di samping jendela, pelipit serta hiasan naga pada
wihara. Kedekatannya dengan sungai cukup praktis karena memudahkan dalam
pendistribusian komoditi dari kapal ke kawasan Ruko ataupun sebaliknya. Adapun
wihara ditempatkan di antara bangunan ruko modern dimaksudkan agar ada
perbedaan fungsi bangunan. Bangunan ruko di Peunayong juga berkaitan dengan
status Sosial-Ekonomi, ini dapat diperhatikan pada salah satu ruko di Kompleks
Ruko I. Terletak di utara (ujung) berukuran lebih besar daripada ruko
setelahnya. Ruko dalam ukuran besar umumnya dimiliki oleh orang kaya. Simbol
juga didapati pada bangunan wihara dimana di bagian atap depan terdapat
sepasang naga yang bermakna sebagai penjaga, penolak bala, dan kekuasaan.
Dari keempat aspek tersebut di atas dapat dikatakan lingkungan sangat
berpengaruh dalam menentukan letak dan bentuk sebuah bangunan. Lingkungan
agraris dengan iklim tropis basah seperti di Indonesia telah menghasilkan
arsitektur kampung, yang berbeda dengan lingkungan pantai beriklim tropis
kering dengan arsitektur yang lebih masif, ataupun dengan lingkungan pegunungan
bersalju yang dingin (Halim,2005:42). Umumnya ruko dirancang sebagai bangunan
terbuka agar terlihat komoditi apa saja yang dijual didalamnya maka untuk itu
Kompleks Ruko I dan Ruko II mempunyai gang/emperan yang mengelilingi ruang-ruang
pada bagian luar. Bagian ini memiliki fungsi majemuk, sebagai penghubung,
isolasi panas, sinar matahari langsung dan secara ekonomis agar mudah terlihat
oleh pembeli/konsumen. Untuk kenyamanan konsumen, tambahan elemen lain
diperlukan untuk mengantisipasi pengaruh panas sinar matahari langsung, yaitu
dengan memasang tirai bambu (Kompleks Ruko II).
Secara arsitektural konstruksi
bangunan tiap ruko adalah sama. Perkuatan bangunan bertumpu di bagian dinding.
Ini tampak pada dinding ruko lantai 1 menerus ke lantai 2 dan berakhir di
bagian atap sebagai wuwungan dengan tonjolan di bagian puncaknya. Konstruksi
ini memperlihatkan bahwa struktur bangunan condong mementingkan tinggi
ketimbang lebarnya. Menurut seorang pemilik toko beretnis Cina, Bapak Soewarno
(60 tahun) sebelum peristiwa gempa bumi dan tsunami tahun 2004 kapal-kapal
tradisional bersandar di Peunayong untuk kegiatan bongkar muat komoditi. Kini
tempat bersandar kapal telah bergeser ke daerah Lampeuk, sekitar 4 km di utara
Peunayong dekat ke muara sungai. Pentingnya pasar apalagi berada di kawasan
yang dekat dengan pelabuhan di dalam kehidupan di Aceh menjadi melting
pot (wadah percampuran) masyarakat sekitarnya untuk menukar,
menjualbelikan produksi pertanian maupun industri rumah tangga. Sulit untuk
membayangkan kehidupan permukiman kota dimanapun tanpa memperhitungkan adanya
pasar yang menetap di suatu tempat dan terselenggara rutin.
Kesimpulan
Kawasan Peunayong merupakan gambaran dari orang-orang Cina perantauan di
dalam membuat lingkungan sendiri, hidup secara eksklusif dengan mempertahankan
serta meneruskan adat kebiasaan, kebudayaan dan tradisi leluhur. Peunayong
merupakan potret masih hidupnya roda perekonomian di Nanggroe Aceh Darussalam
disamping kawasan lainnya yang kebanyakan telah redup bahkan hilang karena
peristiwa gempa bumi dan tsunami. Keberadaan bangunan ruko dengan perpaduan
gaya arsitektur Cina dan Eropa serta wihara di Peunayong dapat dipahami karena
pertumbuhan pecinan setelah abad ke-18 Masehi sangat ditentukan oleh
kebijakan politik dan ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda namun begitu
unsur-unsur filosofi budaya, tradisi dan warna religius Cina tetap menonjol.
Karena itulah ruko-ruko di Peunayong sebagai tempat kegiatan ekonomi mayoritas
warga keturunan Cina sampai kini masih bertahan.
oke,,,, yesss
ReplyDeleteoh yesss....hahaha...
Deletethanks wak for ur comment...:D